Selasa, 04 Oktober 2016

Sejarah Desa Beji Kec. Kedungbanteng Kab. Banyumas Purwokerto - Jawa Tengah



Berdasarkan Etimologi, “Beji”mempunyai arti “Sumur/belik” atau “Sumber Air”, di desa Beji terdapat sebuah Sumber Air yang sangat besar/belik sumber itu berada di lembah dekat tepian sungai banjaran yang sejak jaman dahulu tidak dapat diketahui secara pasti baik nama, tahun maupun awal mulanya disekitar itulah penduduk bertempat tinggal, beberapa bukti peninggalan yang ada bahwa dahulu tempat tersebut adalah padukuhan yaitu dengan adanya tempat yang bernama Ampes, Depok, Padepokan, Jurangmangu, Cina Lumpuh, (di Beji Lor) Selajanji, Nini Sanding, Padurasa dan Timbanganten (di Beji Kidul). Dimana tempat tersebut ada beberapa peninggalan kuburan kuno sebagai bukti adanya penduduk dan mata air besar yang tak pernah kering sepanjang masa di daerah itulah dinamakan Beji. Padukuhan-padukuhan itulah meluas menjadi sebuah desa yang bernama desa Beji.

 Terbentuknya Desa Beji

Pada awalnya merupakan dua dusun tersebut memiliki pemerintahan sendiri-sendiri yakni Pemerintahan Desa Beji Lor dan Beji Kidul. Desa Beji yang terdiri dari dua Dusun yaitu :

a. Dusun 1 (Beji Lor) terdapat Grumbul Ampes (konon merupakan sebuah padukuhan), grumbul Depok adalah makam/Kuburan Mbah Atas Angin, grumbul Padepokan tempat kuburan gamelan menurut cerita jaman dahulu tempat dikuburkannya para korban kejadian tragis yang menimpa keluarga pengantin, pengatin serta dalang dan penabuh gamelan/niaga pagi hari setelah mengadakan pesta hajatan menaggap wayang saling menikam sehingga banyak korban sehingga para korban berikut gamelanya dikuburkan, grumbul Jurangmangu merupakan Curug dan sumur kuno, dan grumbul Cina Lumpuh adalah sebuah blok tanah sawah yang dahulu terdapat sebuah batu yang dipercayai dihuni oleh makhluk halus.

Para tokoh yang pernah menduduki jabatan Lurah Beji Lor pada waktu itu adalah; Surakrama, Karyadrana, Wiradrana dan Sadirana (Sumber sejarah tidak menyebut angka tahun menjabat).

b. Dusun 2 (Beji Kidul) terdapat grumbul Ninisanding merupakan padepokan dan sekarang merupakan blok tanah sawah, grumbul Timbanganten Konon adalah tempat pertimbangan orang–orang jaman dahulu, grumbul Padurasa sekarang adalah perempatan batas desa Beji, Bobosan, Purwosari dan Purwonegoro, grumbul Selajanji adalah berupa makan kuno yang didekatnya terdapat sumber air/belik yang konon merupakan tempat Mbah Seca Mulya, dan lokasi disekitar dinamakan panembahan. Selajanji mempunyai arti Sela = Batu, Janji = Perjanjian / ketentuan hal ini dikarenakan tempat ini sering digunakan oleh orang-orang untuk melakukan permohonan tertentu pada malam jum’at kliwon dan selasa kliwon dengan berendam pada mata air/belik yang kemudian mengangkat dua buah batu bulat yang ada di dalam makam /pesarean dengan terlebih dahulu disembah tujuh kali, berhasil atau tidaknya akan tergantung pada nasib orang tersebut.

Para tokoh yang pernah menduduki jabatan Lurah Beji Kidul saat itu adalah; Tirtadirana (Sumber sejarah tidak menyebut angka tahun menjabat).

Pada tahun 1910 diadakan penggabungan antara Desa Beji Lor dan Desa Beji Kidul menjadi satu Desa, Kepala desa pada waktu itu adalah Tirtadirana melalui pemilihan langsung.

Adapun Lurah-lurah selanjutnya adalah; Wiryadrana, Martadikrama (sumber sejarah tidak menyebut angka tahun) dan Wiryadimedja yang berhenti pada tahun 1952 dan digantikan oleh Sanoersim yang menjabat hingga tahun 1985

  1. Kebudayaan Masyarakat (Sosiokultura)

Masyarakat desa Beji mempunyai kepercayaan Tidak boleh Menanggap Hiburan Wayang kulit hal ini dipercayai sampai tahun 1960 hal ini disebabkan menurut cerita para sesepuh desa pada tahun (yang tidak dapat dipastikan). Menceritakan Terjadi perjodohan antara keluarga pengantin wanita dari Desa Beji dengan Pengantin Pria dari Desa Pandak yang pada saat itu keluarga pengantin wanita menghendaki perayaanya dengan hiburan wayang sedangkan dari piha pria tidak menghendakinya namum dari pihak pengantin wanita tetap memaksanya sehingga pada pagi hari setelah pertunjukan usai terjadilah keributan saling menikam antara keluarga yang punya hajat, pengantin pria dan wanita serta dalang dan penabuhnya/niaga sehingga menimbulkan banyak korban yang akhirnya para korban, wayang, dan gamelanya dikuburkan sekalian. Dari situlah tercetus perkataan dari korban yang selamat “mBesuk tembe anak putu aja pada nanggap wayang” yang artinya “besok kedepan anak-anak dan keturunanku janga sampai ada yang menanggap pertunjukan wayang kulit.” Maka sejak itu masyarakat tidak ada yang berani menanggap pertunjukan wayangkulit karena dianggap pantangan. Seiring dengan berpikirnya masyarakat, hal ini berlangsung sampai pada sekitar tahun 1960 seorang tokoh masyarakat (soerasno kepala sekolah) pada saat itu berani mementaskan pertunjukan wayang kulit di sebuah lumbung desa sampai selesai teryata tidak terjadi sesuatu yang membahayakan sehingga sampai sekarang wayang tidak lagi merupakan pertunjukan yang menjadi pantangan bahkan banyak warga serta seniman yang aktif pada perkumpulan seni karawitan dan wayang kulit.

Kepercayaan masyarakat di Desa Beji jaman dahulu masih berkiblat pada suku tengger karena menurut cerita asal muasal orang Beji adalah dari suku tenger sehingga ada banyak kepercayaan yang dilaksanakan serupa dengan kebudayaan di suku tenger seperti mengadakan ritual sedekah bumi dengan menyebelih sapi/kerbau kepalanya dikuburkan diperempatan/(tengah padukuhan) sebagai tumbal, menyediakan sesaji ketika akan memulai memanen hasil pertanian, menyediakan sesaji di tempat-tempat tertentu pada saat mengadakan khajatan. Namun seiring dengan perkembangan jaman dan bertambahnya pengetahuan maka sedikit demi sedikit kebiasaan seperti hilang masyarakat sudah mengenal kesenian baik yang dipengaruhi oleh budaya islam seperti Genjring dan rebana atau hal-hal yang mengandung unsur magis seperti ebeg (Kuda lumping) dan sebagainya.

Mayoritas penduduk beragama Islam, sebagian kecil beragama Kristen dan kepercayaan (kejawen).

Masyarakat Desa Beji mulai mengenal budidaya ikan gurameh terinpirasi dari air yang melimpah dan tak pernah kering sepanjang tahun dan ikan gurameh adalh jenis ikan yang paling cocok dengan kondisi alam desa beji, maka hingga sekarang sebagian besar masyarakat hidup dari lahan pertanian dan perikanan. Sebelum masyarakat mengenal Pupuk Kimia masyarakat desa beji banyak memanfaatkan pupuk kandang untuk menyuburkan tanah termasuk untuk kolam, hal itu dilakukan secara turun temurun, namun dengan kemajuan teknologi dan perkembangan jaman masyarakat mulai mengenal pupuk kimia terutama untuk pertanian

Banyaknya pembudidaya ikan di desa beji terutama jenis ikan gurameh menjadikan banyak petani yang berusaha untuk menjual hasil produknya ke luar willayah desa bahkan sampai keluar propinsi, menjadikan Beji terkenal sebagai sentra Gurameh. Pada tahun 1970 – 1990 bahkan banyak didatangi para petani dan pedagang dari luar desa beji untuk mendapatkan benih ikan terutama ikan gurameh, maka Desa Beji Kecamatan Kedungbanteng Kabupaten Banyumas Propinsi Jawa Tengah terkenal sebagai sentra ikan gurameh sampai saat ini dan untuk mendukung program program Minapolitan Desa Beji Mendapat julukan Kampung Mina/Kampung Ikan dengan Maskot Patung Gurameh yang berada di pertigaan 


EmoticonEmoticon