Berdasarkan Etimologi,
“Beji”mempunyai arti “Sumur/belik” atau “Sumber Air”, di desa Beji
terdapat sebuah Sumber Air yang sangat besar/belik sumber itu berada di
lembah dekat tepian sungai banjaran yang sejak jaman dahulu tidak dapat
diketahui secara pasti baik nama, tahun maupun awal mulanya disekitar
itulah penduduk bertempat tinggal, beberapa bukti peninggalan yang ada
bahwa dahulu tempat tersebut adalah padukuhan yaitu dengan adanya tempat
yang bernama Ampes, Depok, Padepokan, Jurangmangu, Cina Lumpuh, (di
Beji Lor) Selajanji, Nini Sanding, Padurasa dan Timbanganten (di Beji
Kidul). Dimana tempat tersebut ada beberapa peninggalan kuburan kuno
sebagai bukti adanya penduduk dan mata air besar yang tak pernah kering
sepanjang masa di daerah itulah dinamakan Beji. Padukuhan-padukuhan
itulah meluas menjadi sebuah desa yang bernama desa Beji.
Terbentuknya Desa Beji
Pada awalnya merupakan dua
dusun tersebut memiliki pemerintahan sendiri-sendiri yakni Pemerintahan
Desa Beji Lor dan Beji Kidul. Desa Beji yang terdiri dari dua Dusun
yaitu :
a. Dusun 1 (Beji Lor) terdapat
Grumbul Ampes (konon merupakan sebuah padukuhan), grumbul Depok adalah
makam/Kuburan Mbah Atas Angin, grumbul Padepokan tempat kuburan gamelan
menurut cerita jaman dahulu tempat dikuburkannya para korban kejadian
tragis yang menimpa keluarga pengantin, pengatin serta dalang dan
penabuh gamelan/niaga pagi hari setelah mengadakan pesta hajatan
menaggap wayang saling menikam sehingga banyak korban sehingga para
korban berikut gamelanya dikuburkan, grumbul Jurangmangu merupakan Curug
dan sumur kuno, dan grumbul Cina Lumpuh adalah sebuah blok tanah sawah
yang dahulu terdapat sebuah batu yang dipercayai dihuni oleh makhluk
halus.
Para tokoh yang pernah
menduduki jabatan Lurah Beji Lor pada waktu itu adalah; Surakrama,
Karyadrana, Wiradrana dan Sadirana (Sumber sejarah tidak menyebut angka
tahun menjabat).
b. Dusun 2 (Beji Kidul) terdapat
grumbul Ninisanding merupakan padepokan dan sekarang merupakan blok
tanah sawah, grumbul Timbanganten Konon adalah tempat pertimbangan
orang–orang jaman dahulu, grumbul Padurasa sekarang adalah perempatan
batas desa Beji, Bobosan, Purwosari dan Purwonegoro, grumbul Selajanji
adalah berupa makan kuno yang didekatnya terdapat sumber air/belik yang
konon merupakan tempat Mbah Seca Mulya, dan lokasi disekitar dinamakan
panembahan. Selajanji mempunyai arti Sela = Batu, Janji = Perjanjian /
ketentuan hal ini dikarenakan tempat ini sering digunakan oleh
orang-orang untuk melakukan permohonan tertentu pada malam jum’at kliwon
dan selasa kliwon dengan berendam pada mata air/belik yang kemudian
mengangkat dua buah batu bulat yang ada di dalam makam /pesarean dengan
terlebih dahulu disembah tujuh kali, berhasil atau tidaknya akan
tergantung pada nasib orang tersebut.
Para tokoh yang pernah
menduduki jabatan Lurah Beji Kidul saat itu adalah; Tirtadirana (Sumber
sejarah tidak menyebut angka tahun menjabat).
Pada tahun 1910 diadakan
penggabungan antara Desa Beji Lor dan Desa Beji Kidul menjadi satu Desa,
Kepala desa pada waktu itu adalah Tirtadirana melalui pemilihan
langsung.
Adapun Lurah-lurah selanjutnya
adalah; Wiryadrana, Martadikrama (sumber sejarah tidak menyebut angka
tahun) dan Wiryadimedja yang berhenti pada tahun 1952 dan digantikan
oleh Sanoersim yang menjabat hingga tahun 1985
- Kebudayaan Masyarakat (Sosiokultura)
Masyarakat desa Beji mempunyai
kepercayaan Tidak boleh Menanggap Hiburan Wayang kulit hal ini
dipercayai sampai tahun 1960 hal ini disebabkan menurut cerita para
sesepuh desa pada tahun (yang tidak dapat dipastikan). Menceritakan
Terjadi perjodohan antara keluarga pengantin wanita dari Desa Beji
dengan Pengantin Pria dari Desa Pandak yang pada saat itu keluarga
pengantin wanita menghendaki perayaanya dengan hiburan wayang sedangkan
dari piha pria tidak menghendakinya namum dari pihak pengantin wanita
tetap memaksanya sehingga pada pagi hari setelah pertunjukan usai
terjadilah keributan saling menikam antara keluarga yang punya hajat,
pengantin pria dan wanita serta dalang dan penabuhnya/niaga sehingga
menimbulkan banyak korban yang akhirnya para korban, wayang, dan
gamelanya dikuburkan sekalian. Dari situlah tercetus perkataan dari
korban yang selamat “mBesuk tembe anak putu aja pada nanggap wayang” yang artinya “besok kedepan anak-anak dan keturunanku janga sampai ada yang menanggap pertunjukan wayang kulit.” Maka
sejak itu masyarakat tidak ada yang berani menanggap pertunjukan
wayangkulit karena dianggap pantangan. Seiring dengan berpikirnya
masyarakat, hal ini berlangsung sampai pada sekitar tahun 1960 seorang
tokoh masyarakat (soerasno kepala sekolah) pada saat itu berani
mementaskan pertunjukan wayang kulit di sebuah lumbung desa sampai
selesai teryata tidak terjadi sesuatu yang membahayakan sehingga sampai
sekarang wayang tidak lagi merupakan pertunjukan yang menjadi pantangan
bahkan banyak warga serta seniman yang aktif pada perkumpulan seni
karawitan dan wayang kulit.
Kepercayaan masyarakat di Desa
Beji jaman dahulu masih berkiblat pada suku tengger karena menurut
cerita asal muasal orang Beji adalah dari suku tenger sehingga ada
banyak kepercayaan yang dilaksanakan serupa dengan kebudayaan di suku
tenger seperti mengadakan ritual sedekah bumi dengan menyebelih
sapi/kerbau kepalanya dikuburkan diperempatan/(tengah padukuhan) sebagai
tumbal, menyediakan sesaji ketika akan memulai memanen hasil pertanian,
menyediakan sesaji di tempat-tempat tertentu pada saat mengadakan
khajatan. Namun seiring dengan perkembangan jaman dan bertambahnya
pengetahuan maka sedikit demi sedikit kebiasaan seperti hilang
masyarakat sudah mengenal kesenian baik yang dipengaruhi oleh budaya
islam seperti Genjring dan rebana atau hal-hal yang mengandung unsur
magis seperti ebeg (Kuda lumping) dan sebagainya.
Mayoritas penduduk beragama Islam, sebagian kecil beragama Kristen dan kepercayaan (kejawen).
Masyarakat Desa Beji mulai
mengenal budidaya ikan gurameh terinpirasi dari air yang melimpah dan
tak pernah kering sepanjang tahun dan ikan gurameh adalh jenis ikan yang
paling cocok dengan kondisi alam desa beji, maka hingga sekarang
sebagian besar masyarakat hidup dari lahan pertanian dan perikanan.
Sebelum masyarakat mengenal Pupuk Kimia masyarakat desa beji banyak
memanfaatkan pupuk kandang untuk menyuburkan tanah termasuk untuk kolam,
hal itu dilakukan secara turun temurun, namun dengan kemajuan teknologi
dan perkembangan jaman masyarakat mulai mengenal pupuk kimia terutama
untuk pertanian
Banyaknya pembudidaya ikan di
desa beji terutama jenis ikan gurameh menjadikan banyak petani yang
berusaha untuk menjual hasil produknya ke luar willayah desa bahkan
sampai keluar propinsi, menjadikan Beji terkenal sebagai sentra Gurameh.
Pada tahun 1970 – 1990 bahkan banyak didatangi para petani dan pedagang
dari luar desa beji untuk mendapatkan benih ikan terutama ikan gurameh,
maka Desa Beji Kecamatan Kedungbanteng Kabupaten Banyumas Propinsi Jawa
Tengah terkenal sebagai sentra ikan gurameh sampai saat ini dan untuk
mendukung program program Minapolitan Desa Beji Mendapat julukan Kampung
Mina/Kampung Ikan dengan Maskot Patung Gurameh yang berada di
pertigaan
Sumber : http://beji.desa.id/sejarah-desa/
EmoticonEmoticon